Kegiatan transaksi dalam perdagangan di masa modern telah dimanfaatkan oleh sebagian produsen dan penjual yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan sistem perhitungan harga barang atau jasa yang dijualnya, serta menggunakan sistem pembayaran yang instan tanpa memikirkan hak dan kewajiban yang masih melekat pada setiap produsen dan konsumen ketika melakukan transaksi. Hal ini dapat dilihat dari diterapkannya cara perhitungan jumlah persentase (%) dari harga dasar dan nominal keuntungan yang diharapkan oleh produsen dan pedagang yang pada akhirnya diperoleh harga jual barang dan jasa yang ditawarkan kepada para pembelinya (konsumen). Tentu saja, dengan diterapkannya cara perhitungan seperti ini, tanpa diterapkannya proses pembulatan harga nominal, dapat berakibat pada harga barang dan jasa yang ditawarkan menjadi nominal pecahan-pecahan kecil yang sulit untuk ditukarkan. Seperti Rp. 10, 20, 25, 50, 90, dan harga-harga dalam bentuk pecahan lainnya mulai dari Rp. 1 hingga Rp. 99.
Dalam praktik, penjualan barang dan jasa dengan harga pecahan yang sulit untuk ditukarkan dengan nominal mata uang yang berlaku, sering dijumpai pada perdagangan sektor retail seperti super market ataupun mini market. Coba saja perhatikan harga untuk sebuah ”sabun”, ”susu”, hingga perlengkapan ”rumah tangga”, ditawarkan dengan harga Rp. XX,0XX,00-.
Ironisnya ketika konsumen yang telah berbelanja di beberapa supermarket atau minimarket, mereka hanya mendapatkan pengembalian uang hasil belanja (pembelian) dengan sebuah atau beberapa ”permen” sebagai pengganti kembalian Rp. 5, 10, 25, 50, 90, 100, atau pecahan rupiah lainnya. Mungkin jumlah sekecil itu tidak terlalu berharga bagi sebagian konsumen, tetapi bagi sebagian masyarakat lainnya jumlah dari pecahan-pecahan rupiah akan masih berguna untuk membayar pengamen jalanan, polisi cepe, hingga untuk menelepon yang sangat mendesak di telepon umum (Rp. 50-100).
Pelanggaran dan pemerasan terhadap perlindungan ”hak-hak” konsumen oleh para produsen dan penjual tidak sampai disitu saja, tetapi ”pelanggaran” dan ”pemerasan” terhadap hak-hak konsumen terjadi juga pada beberapa supermarket dan minimarket lainnya dengan cara dan bentuk yang berbeda. Bagaimana tidak, setiap penjaga kasir di beberapa supermarket dan minimarket tersebut selalu memberikan pilihan kepada setiap pembelinya (konsumen) untuk menyumbangkan pecahan-pecahan Rupiah tersebut kepada supermarket dan minimarket. Tentu saja setiap konsumen tidak dapat memilih dan berbuat banyak untuk ”tidak menyumbangkan” dari pecahan-pecahan Rupiah yang seharusnya menjadi haknya dengan alasan sudah tidak ada mata uang dengan nominal sekecil itu.
Mungkin saja diantara kita muncul beberapa pertannyaan logika sehubungan permasalahan pengembalian uang hasil berbelanja dengan ”permen” atau dengan ”rasa keikhlasan”. Seperti apakah bisa ”permen” dapat dijadikan alat tukar sebagai pengganti mata uang pecahan kecil ketika kita (konsumen) sedang berbelanja di supermarket atau minimarket? Dengan alasan, supermarket dan minimarket tersebut telah menukar mata uang yang sah dengan sebuah atau beberapa permen dari hasil kita berbelanja! Atau bolehkah kita (konsumen) meminta keikhlasan penjaga kasir untuk ”mengikhlaskan” atas kekurangan harga barang dan jasa yang harus dibayarkan karena kita tidak memiliki mata uang dengan pecahan dengan nominal sekecil itu?
Sayangnya, penjaga kasir supermarket atau minimarket tentu tidak mau ”menerima” pembayaran dengan beberapa ”permen” atau memberikan ”keikhlasan” untuk membayar kekurangan dari barang dan jasa yang kita beli. Hal inilah, salah satu gambaran permasalahan dalam praktik bahwa konsumen sering diperlakukan ”tidak berdaya” oleh sebagian produsen dan penjual dalam melakukan kegiatan transaksi sehari-hari.
Meninjau pada hukum yang berlaku, kegiatan produsen dan penjual yang menerapkan pengembalian hasil transaksi dengan ”permen” atau dengan bentuk-bentuk lain yang ditujukan sebagai pembayaran atau pengingkaran terhadap pembayaran kewajiban sebenarnya telah melanggar ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen. Hal ini karena setiap konsumen memiliki hak untuk memilih dan mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan ”nilai tukar”, kondisi, dan jaminan yang dijanjikan sehingga konsumen memiliki kewajiban untuk membayar sesuai dengan ”nilai tukar” yang telah disepakati (Pasal 4-5). Oleh karena itu, setiap produsen dan penjual memiliki kewajiban untuk mengembalikan ”kelebihan pembayaran” kepada setiap konsumen yang telah membayarnya karena konsumen tersebut telah memenuhi hak produsen dan penjual untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan nilai tukar barang dan jasa yang diperdagangkannya (Pasal 6-7).
Sebagai produsen dan pedagang retail, seharusnya tidak menerapkan cara perhitungan persentase (%) tanpa melakukan pembulatan ”ke bawah” untuk harga Rp. 50 dan melakukan pembulatan ”ke atas” untuk harga Rp. 51. Selain itu, uang dengan nominal Rp. 100 mau tak mau harus tetap dipersiapkan oleh produsen dan pedagang retail karena secara hukum mata uang dengan nominal Rp. 100 masih tetap diberlakukan. Sehingga konsumen tidak dirugikan dan tidak diperlakukan ”tak berdaya” ketika akan menuntut sesuatu yang masih menjadi haknya.
Sebagai konsumen, kita tidak boleh menerima perlakuan produsen dan pedagang retail yang menukarkan pengembalian hasil dari kelebihan pembayaran dengan menggunakan permen, keikhlasan, atau dengan bentuk-bentuk lainnya, tanpa kita sepakati sebelum melakukan pembayaran karena dalam praktik, tindakan produsen dan pedagang retail tersebut merupakan bentuk “politisasi” dagang untuk menambah “keuntungan” yang “terlegalisasi” secara “terselubung”.
* Penulis : Rizky Harta Cipta, S.H., M.H, Advokat dari kantor hukum Harta Cipta & Partners, © Copyright hukumpositif.com