Jakarta – Kemajuan perangkat teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari telah memberikan kemudahan dan penghematan bagi setiap orang yang menggunakannya.
Seperti, penggunaan perangkat teknologi digital dalam bidang profesi, pendidikan, kesehatan hingga penggunaan perangkat teknologi digital dalam dunia hiburan.
Perkembangan perangkat teknologi digital yang sangat dinamis, seperti MP3-MP5 player, komputer, dan ponsel, telah berakibat pada sulitnya melakukan penegakan, batasan dan perlindungan Hak Cipta bagi setiap pencipta.
Hal ini disebabkan lantaran perangkat teknologi digital yang beredar di masyarakat, telah memberikan kemudahan dalam melakukan ‘tindakan duplikasi’ atau ‘tindakan imitasi’ yang tidak terkendali terhadap karya cipta seseorang.
Bagaimana tidak? Kita dapat sangat mudah untuk melakukan tukar-menukar koleksi foto, musik, video, aplikasi hingga buku digital (e-Book) yang kita miliki, dengan hanya mengaktifkan koneksi infra red, kabel data, bluetooth atau mengaktifkan WiFi LAN yang telah terpasang dan aktif pada MP3-MP5 player, komputer dan ponsel.
Sehingga kita sering bertanya-tanya, apakah tukar-menukar yang biasa kita lakukan merupakan pelanggaran Hak Cipta yang dapat dikenakan sanksi?
Apabila meninjau pada pandangan para sarjana hukum (doktrin) yang berkembang, maka dalam hukum ditemukan sebuah pandangan kewajaran penggunaan (fair use) yang dapat diartikan sebagai perbuatan yang tidak dianggap sebagai ‘pelanggaran’, dengan syarat penggunaan karya cipta dilakukan secara ‘wajar’ yang tidak merugikan secara ‘ekonomis’ dan ‘moral’ kepada si pencipta karya.
Hal ini dapat ditemukan dalam UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang menjelaskan bahwa perbuatan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, apabila penggunaan karya cipta orang lain, digunakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau pembuatan salinan cadangan program komputer (pemilik), yang hanya untuk dipergunakan sendiri, atau dengan tidak merugikan kepentingan yang ‘wajar’ dari si pencipta (Pasal 15).
Apabila meninjau pada hukum yang berlaku di Amerika Serikat sebagai perbandingan dan tolak ukur bagi hukum sebagian besar negara-negara, maka US Copyright Act telah memberikan ukuran yang cukup jelas, yang dapat dijadikan sebagai faktor penentu untuk menilai bahwa, suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai ‘pelanggaran’ Hak Cipta.
Seperti penggunaan karya cipta yang memiliki tujuan untuk kegiatan ‘non-komersial’ atau tujuan pendidikan, selain memiliki sifat karya cipta, jumlah karya cipta dan substansi karya cipta yang digunakan, harus memiliki tingkat ‘kewajaran’ (proporsional), yang tidak berakibat kerugian besar terhadap potensi pasar karya cipta atau berakibat kerugian besar terhadap menurunnya nilai jual dari karya cipta tersebut.
Pandangan ‘kewajaran’ terhadap penggunaan karya cipta, (fair use) yang telah berkembang di sebagian besar negara telah memberikan kebebasan ‘penggunaan’ dan ‘perbanyakan’ secara ‘terbatas’ kepada para perseorangan, dengan salah satu syarat ‘non-komersial’.
- Membeli foto, musik, vedeo, aplikasi atau e-book yang original (asli), lalu kita dapat meng-copy ke perangkat teknologi digital yang kita miliki (MP3-MP5 player, handphone hingga perangkat komputer).
Dalam praktiknya, kegiatan meng-copy data untuk diberikan kepada orang lain memang sebenarnya tidak dianjurkan, tetapi dengan kemajuan perangkat teknologi digital hal ini tidak dapat dihindarkan.
Oleh karena itu, kegiatan meng-copy dengan motif ini masih tetap sah-sah saja, selama untuk kepentingan dan batasan yang telah diatur dalam Pasal 15 UU No. 19 Tahun 2002.
- Membeli foto, musik, vedeo, aplikasi atau e-book yang original (asli), lalu kita dapat mengubah format (konversi) dari satu format digital ke format digital lainnya, seperti format CDA (format Audio CD yang umum beredar di toko-toko kaset dan CD) ke format MP3 (format kompresi yang umum digunakan pada perangkat teknologi digital, seperti MP3-MP5 player, handphone dan perangkat komputer).
Kegiatan kompresi atau mengubah format data digital dapat dilakukan, selama data kompresi tidak merubah atau menghilangkan sebagian atau keseluruhan dari karya cipta yang asli, yang dapat menghilangkan atau membiaskan identitas si pencipta pada karya ciptaanya tersebut (Pasal 15 dan Pasal 25 UU No. 19 Tahun 2002).
Perlu diketahui bahwa perlindungan terhadap Hak Cipta tidak terbatas pada karya seni yang telah diproduksi dan dipasarkan secara meluas, tetapi perlindungan Hak Cipta juga meliputi seluruh karya (foto, musik, video, aplikasi hingga e-book) yang telah kita ciptakan sendiri, tanpa perlu memproduksi dan memasarkan secara masal.
Hal ini sesuai dengan Pasal 2 UU Hak Cipta yang menjelaskan bahwa, sifat Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi si pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara ‘otomatis’ setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan yang berlaku.
* Penulis : Rizky Harta Cipta, S.H., M.H, dan artikel ini telah dimuat pada detik.com :
http://inet.detik.com/read/2012/11/06/095754/2082723/398/1/menyoal-perlindungan-hak-cipta-di-era-digital