Saat ini banyak sistem bisnis yang dikembangkan dan dijalankan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan kerjasama yang lebih baik di antara para pengusaha. Pada umumnya sistem bisnis yang dijalankan merupakan sistem bisnis dengan cara jual beli langsung, pemasaran bertingkat atau disebut juga sebagai multi level marketing (MLM), hingga sistem bisnis dengan cara waralaba atau lebih dikenal dengan sebutan franchise.
Pertumbuhan usaha franchise semakin berkembang dan menjamur di dalam negeri, karena menurut para penerima dan pemberi franchise yang telah menjalankan usaha franchise mengakui, bahwa mereka mendapatkan pertumbuhan usaha dan keuntungan yang berlipat ganda setelah menjual barang dan jasanya dengan sistem franchise. Hal ini telah didukung dengan para pengamat bisnis dan asosiasi franchise dalam dan luar negri yang menjelaskan, bahwa usaha franchise dapat mengurangi tingkat resiko kegagalan usaha sekitar 60% hingga 90% atau keberhasilan yang dapat diraih oleh para pengusaha franchise.
Dalam praktik, sebagian besar pengusaha ”beramai-ramai” merubah bentuk usaha yang telah dijalankan, dari bentuk usaha tradisional ke bentuk usaha ”franchise”. Selain itu, sebagian besar calon pengusaha lebih memilih bentuk usaha franchise, karena mereka ”beranggapan” usaha franchise telah terbukti berhasil merebut ”hati” masyarakat (konsumen).
Permasalahan lahir ketika, usaha franchise yang berkembang di masyarakat ternyata tidak memenuhi standar yang layak sebagai usaha franchise yang memiliki resiko kegagalan yang sangat rendah. Hal ini didasarkan atas hasil pengamatan penulis terhadap lisensi (izin) usaha franchise dengan kisaran harga Rp. 5,000,000,00- hingga Rp. 20,000,000,00-, di sebuah tempat yang biasa digunakan sebagai pameran franchise.
Hasilnya sangat mengejutkan, karena setelah bertanya-tanya ke beberapa stan franchise, ternyata mereka tidak dapat menjelaskan mengenai sistem manajemen yang digunakan dan neraca perdagangan yang dimiliki. Hal ini belum seberapa aneh, karena ketika bertanya mengenai lisensi, hanya beberapa pengusaha yang dapat menunjukan bukti STPUW, legalitas usaha dan tanda pendaftaran HaKI yang digunakan.
Tentu saja, usaha franchise yang tidak memenuhi kriteria sebagai usaha franchise dapat sangat ”berbahaya” bagi para pembeli lisensi sebuah merek franchise (calon pengusaha franchise), karena calon pembeli dapat saja ”terjebak” dalam sistem dan kondisi pasar dari franchise tertentu yang sangat merugikan.
Salah satu fakta yang diperoleh, usaha franchise yang tidak memenuhi kriteria sebagai usaha franchise yang ditemukan oleh penulis, dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Proposal (prospektus) penawaran usaha franchise yang diberikan oleh pemberi franchise tidak jelas, tidak lengkap, sehingga tidak dapat mencerminkan daya serap franchise tersebut di masyarakat (pasar), selain proposal yang ditawarkan tidak dapat mencerminkan kondisi kesehatan usaha franchise dari sisi manajemen usaha.
Permasalahan ini akan menimbulkan ”BOM WAKTU” bagi calon pengusaha franchise, karena apabila meninjau pada standar minimum proposal (prospektus) penawaran franchise yang ditentukan oleh pemerintah, sebagai bentuk ”perlindungan” terhadap para calon penerima franchise (perlindungan terhadap calon pengusaha), maka pemberi franchise dalam prospektus setidaknya harus berisi mengenai identitas lengkap, legalitas usaha, sistem manajemen, neraca keuangan 2 tahun terakhir, hingga hak dan kewajiban pemberi dan penerima franchise.
Prospektus penting untuk diketahui, karena prospektus yang lengkap dan jelas dapat mencegah calon pengusaha franchise masuk ke dalam resiko kegagalan yang sangat besar.
- Sebagian usaha franchise tidak memiliki ”izin”, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Tanda Pendaftaran Usaha Franchise (STPUW) atau bukti pendaftaran Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki (Hak Cipta, Merek atau Rahasia Dagang) dari instansi berwenang, sebagai ”legalitas usaha” yang diwajibkan oleh pemerintah.
Permasalahan tidak terdaftarnya salah satu syarat sebagai usaha franchise, dapat bermasalah terhadap kelangsungan dan kesehatan usaha franchise yang akan dibeli oleh calon pengusaha (konsumen), karena apabila meninjau pada PP No. 42 Tahun 2007 telah mengharuskan setiap usaha franchise memiliki tanda pendaftaran Hak atas Kekayaan Intelektual (Haki), tanda legalitas usaha (SIUP dan TDP), serta tanda pendaftaran sebagai usaha franchise (STPUW) dari berbagai instansi yang terkait. Hal ini sangat penting untuk usaha franchise, karena pada dasarnya usaha franchise memiliki karakteristik yang saling terkait dibandingkan dengan bentuk usaha lain.
Apabila meninjau salah satu hasil konferensi pers mengenai konsep perdagangan baru franchise yang dilaksanakan di Jakarta oleh IPPM pada 25 Juni 1991, maka franchise dapat diartikan sebagai sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk (pemberi franchise), memberikan kepada individu atau perusahaan lain (penerima franchise) yang berskala kecil dan menengah, yang diberikan hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha tertentu, dengan cara tertentu, waktu tertentu, dan di suatu tempat tertentu. Hal ini selaras dengan Pasal 3 PP No. 42 Tahun 2007 yang menegaskan bahwa, setiap usaha franchise harus memenuhi ”kriteria” sebagai usaha yang memiliki ciri khas usaha, usaha yang telah terbukti memberikan keuntungan, usaha yang memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa (tertulis), usaha yang mudah diajarkan (diterapkan), usaha yang memiliki dukungan yang berkesinambungan, serta usaha yang memiliki Hak Kekayaan Intelektual yang terdaftar.
Sebenarnya usaha franchise merupakan salah satu pilihan paling tepat bagi para calon pengusaha yang baru akan memulai sebuah usaha (khususnya calon pengusaha di sektor kecil dan mikro), karena calon pengusaha dapat memanfaatkan pelatihan dan pembinaan yang berkelanjutan dari para pemberi franchise. Hanya saja, para calon pengusaha harus dapat ”mencermati” dalam ”memilih” usaha franchise yang ”sehat”, baik dari kondisi manajemen franchise yang bersangkutan hingga daya serap pasar terhadap merek dari franchise tersebut.
* Penulis : Rizky Harta Cipta, S.H., M.H, Advokat dari kantor hukum Harta Cipta & Partners, © Copyright hukumpositif.com