Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, persaingan diantara sumber daya manusia semakin terasa. Bagaimana tidak, setiap orang yang memiliki keahlian dapat bekerja di negara-negara yang memerlukan keahliannya secara mudah. Hal ini telah memberikan tuntutan kepada masyarakat dan negara untuk sama-sama memperbaharui terus-menerus terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya dengan cara mendapatkan pendidikan seluas-luasnya.
Sangat menyedihkan dan disayangkan, ketika penulis mendapatkan cerita dan keluhan dari seorang anak disabilitas yang tidak dapat diterima oleh sebuah perguruan tinggi XXXX dengan alasan ”tuna netra”. Sebenarnya hal ini bukanlah yang pertama kali penulis menerima dan mendengarkan cerita mengenai penolakan semacam ini, karena beberapa tahun yang lalu penulis juga pernah menerima cerita, bahwa seorang guru sekolah tingkat XXX berkata pada muridnya yang tuna netra yang berisi, ”Kamu tidak pantas di sekolah umum, sehingga sebaiknya pindah saja ke Sekolah Luar Biasa (SLB)”.
Lebih ironis, karena penolakan di atas, dilakukan terhadap kedua siswa yang ternyata memiliki tingkat kecerdasan, kemampuan dan kemauan untuk mengikuti setiap mata pelajaran yang disampaikan sesuai kurikulum yang ditentukan. Dengan kata lain, kedua anak disabilitas tersebut memiliki riwayat akademis yang cukup baik, yang dapat menggambarkan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk berpartisipasi di lembaga pendidikan pada umumnya. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada alasan apapun untuk melakukan diskriminasi terhadap kedua siswa disabilitas tersebut.
Sebenarnya Negara Indonesia telah menjamin bahwa setiap anak bangsa Indonesia berhak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama dan layak, sesuai dengan jaminan konstitusional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yang selanjutnya telah diperjelas dalam Pasal 31 UUD 1945.
Apabila meninjau secara legal formil (hukum yang berlaku), maka anak-anak disabilitas tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif negatif dengan alasan-alasan apapun. Hal ini didasarkan bahwa, pendidikan merupakan salah satu hak azasi yang harus dilindungi, dibina serta dikembangkan oleh negara atau institusi pendidikan yang diberikan amanat dalam menjalankan proses pendidikan.
Apabila meninjau pada tujuan dan perlindungan negara terhadap bidang pendidikan, maka dalam Pembukaan UUD 1945 telah secara tegas menjelaskan bahwa, ”Negara bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang selanjutnya pada Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 telah memperjelas tujuan negara dengan menjelaskan bahwa, ”Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan”.
Sehubungan dengan penolakan terhadap anak-anak disabilitas dalam mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan umum, maka apabila meninjau pada UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka sebenarnya setiap anak memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, anak-anak disabilitas yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2003).
Maksud pemberian pendidikan khusus terhadap anak-anak disabilitas sesuai Pasal 5 UU Sisdignas di atas, dapat diartikan bahwa, setiap anak disabilitas harus diberikan bentuk pengajaran dan pendidikan sesuai dengan kemampuan anak disabilitas dalam menyerap setiap ilmu yang diberikan oleh pengajar. Dengan kata lain, anak-anak disabilitas berhak mendapatkan pengajaran dan pendidikan di lembaga pendidikan umum (sekolah umum), sepanjang mereka dapat mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diberikan oleh lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu, dalam kasus penolakan terhadap anak-anak disabilitas dengan alasan ”fisik” tidak dapat dibenarkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia, karena ”ketidakmampuan” anak-anak disabilitas harus dapat diuji secara metodis dan ilmiah (tidak didasarkan atas persepsi subjektif seseorang). Hal ini selaras dengan deskriptif dari Pasal 32 UU Sisdiknas yang menjelaskan, ”Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki kewajiban untuk memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi (Pasal 11 No. 20 Tahun 2003).
Untuk mewujudkan dan mendukung hak pendidikan yang sama bagi para anak-anak disabilitas berdasarkan hukum yang berlaku, maka telah ditetapkan suatu program pendidikan ”inklusif” yang merupakan bentuk pendidikan yang memasukan anak-anak disabilitas pada lembaga pendidikan umum (sekolah umum) secara seimbang (proposional). Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, selain memberikan pendidikan (edukasi) sosial yang baik (positif) bagi anak-anak pada umumnya.
Sebenarnya dukungan dan dasar hukum bagi terjaminnya kesempatan atas pendidikan yang sama bagi anak-anak disabilitas, telah dirumuskan dalam beragam perangkat hukum nasional dan internasional. Seperti yang telah dirumuskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia [1948], Konvensi Hak Anak [1989], Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua [1990], Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat [1993], Deklarasi Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO [1994], Deklarasi Kongres Anak Internasional [2004], UU RI Tentang Penyandang Cacat [No. 4/1997], serta UU RI Tentang Sistem Pendidikan Nasional [No. 20/2003].
Salah Satu rumusan yang menegaskan mengenai kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama dapat ditinjau dari Pasal 26 Deklarasi HAM yang menjelaskan, “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan”. Hal ini telah selaras dengan tujuan ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan UUD 1945 beserta peraturan pelaksananya. Oleh karena itu, masyarakat harus dapat memperjuangkan kebutuhan akan pendidikan yang baik, sesuai dengan kesempatan besar dalam pendidikan yang telah diberikan dan ditawarkan oleh Pemerintah dan Negara yang kita cintai.
* Penulis : Rizky Harta Cipta, S.H., M.H, Advokat dari kantor hukum Harta Cipta & Partners, © Copyright hukumpositif.com